I made this widget at MyFlashFetish.com.

Senin, 11 Juli 2011

Menjadi Pribadi Pemberontak

12 Juli 2011
Dikala pemikiran yang kritis diperlukan

Menjadi manusia dengan sifat kayak gini menurut gw bukan suatu hal buruk yang perlu dihindari. Terkadang, menjadi seorang dengan jiwa pemberontak, dan juga kritis, merupakan suatu pilihan yang kadang dibutuhkan. Pemberontak identik dengan perbedaan, dan perbedaan merupakan hal yang konkret dalam hidup, yang gak perlu dianggap aneh. Perbedaan membawa kita pada keanekaragaman. Masalahnya adalah, apakah sifat pemberontak yang seperti ini akan bisa dibawa menuju hal2 yang positif, atau sebaliknya, menjerumuskan kita ke hal2 yang negatif.

Memiliki opini, kebiasaan, atau jalan pemikiran yang berbeda dengan orang lain disekitarnya, merupakan hak seseorang yang gak bisa seorangpun menentangnya. Memiliki caranya sendiri dalam menganalisa sesuatu, tanpa harus mengikuti paradigma kuno yang sudah tertanam dalam budaya dan kebiasaan di masyarakat.

Ada kalanya, kita harus kritis dalam menghadapi sesuatu. Gak melulu gampang mencerna sesuatu. Sifat kritis bisa membawa kita pada pemikiran yang inovatif, kreatif dan lebih analitis. Selalu ingin mengetahui apa alasan kenapa ia berbuat sesuatu.

Berfikir skeptis hanya akan membuat alur hidup menjadi stagnan, dan tidak akan pernah ada perubahan yang berarti dalam hidup.

Sifat kritis dan berjiwa pemberontak kayak gini masih gw miliki. Dan gw tetep pelihara sampai saat ini.

Sifat yang udah terlihat dari waktu gw masih dalam kandungan. Kadang2, sifat gw yang kayak gini diarahkan ke hal2 negatif.

Dulu, waktu baru berumur 7 bulan di kandungan aja, gw udah minta keluar dari perut emak gw.

“sabar dul, tinggal 2 bulan lagi lu gw rilis ke dunia,”  kata emak gw sambil nepuk2 hamilnya. (Kena kepala alit ma…sakit nih dijitak mulu)

Gak mau sabar, gw pun suka berontak, suka nendang2. Kadang direspon emak gw pake jurus jitakan perut.

Ngomong2 soal berontak, Jadi inget gimana dulu SD, kabur gara2 mau disuntik, walau akhirnya nyerah juga, daripada dijitak pak guru. Gw gak mau disuntik pun bukan tanpa alasan. Gak adanya penjelasan mengenai kenapa kita harus disuntik, dan kenapa tidak ada pengumumannya, membuat gw ragu dan lebih memilih menolak. Siapa yang tau kalau itu bukan suntik rabies ?

Selain itu, gw lebih pilih cabut pelajaran tambahan dan asik main game di belakang sekolah, ketimbang duduk dan mempelajari pelajaran yang sama, dengan guru yang sama dan gaya mengajar yang sama pula. Alasannya, buat apa 5 jam gw duduk di kelas, sampe ngantuk2, peres pikiran, tapi hal itu diulang di jam selesai belajar, dengan guru & cara yang sama ? no thanks. Kalau dengan guru atau gaya mengajar yang berbeda, mungkin lebih memiliki variasi, suasana baru dan menghindari kejenuhan, sehingga ilmu yang didapat pun akan masuk ke otak.

Jadi inget juga waktu itu, gw memilih mengerjakan rumus matematika dengan cara yang simple, singkat dan tepat, mirip yang suka diajarin banyak lembaga kursus swasta, dan jawabannya benar. Walau begitu, cara yang gw kerjain bukan kayak yang diajarin bu guru di sekolah, cara ini gw dapet dari kakak gw yang emang ahli matematika, mungkin Cuma gw satu2nya anak SD yang pakai rumus high tech gini .

Bagaimana hasilnya ?

Jawaban gw dianggap salah, hanya karena caranya beda ama yang diajarin di sekolah.

Ngomong2 soal les, Les yang diadain guru sekolah gw dulu di rumahnya, menurut gw merupakan cara yang sedikit curang untuk bisa mendapat nilai bagus di kelas. Bayangkan aja, ikut les berarti bayar, it means, Cuma yang mampu yang bisa. Bagaimana dengan temen2 gw yang gak bisa ? itu berarti, mereka hanya mendapatkan pendidikan reguler yang hanya terjadi di kelas. 

Faktanya adalah, pelajaran yang diajarkan pada saat les, akan dikemas untuk lebih mudah dimengerti ketimbang yang diajarkan di kelas. Sang guru mengajarkan banyak cara praktis untuk menyelesaikan soal2 yang nantinya akan diajarkan di sekolah, tapi cara tersebut gak pernah diajarkan waktu di sekolah. Jelas aja, yang ikut les udah pasti bisa jawab, dan yang gak ikut akan jadi sapi gagu. Heran melihat temen2nya bisa dengan mudah mengerjakan soal.

Kenapa bisa gak adil begitu ? ini sih sama aja kayak siswa yang nantinya mau ujian, sehari sebelumnya udah dikasih jawabannya oleh si guru.

Apakah para guru lebih suka menyimpan sebagian ilmunya untuk dijadikan bisnis sampingan ? dan hanya mengeluarkan sebagian untuk diajarkan di sekolah ? upps….bukannya bermaksud buruk, tapi cobalah lebih mendalami apa arti guru buat murid2nya.

Setiap siswa berhak mendapatkan ilmu, dan ilmu yang mereka dapat hanya sebagian. Untuk apa datang ke sekolah, kalau dengan les aja udah pinter duluan ?

Dari kecil gw selalu berpegang, kalau gw dateng ke sekolah, semata-mata bukan buat cari nilai. Nilai gak penting di mata gw. Akan sia2 umur gw di sekolah, apabila lulus nanti gak dapet ilmu apa2. Dan les dengan guru merupakan cara instan mendapatkan nilai bagus, yang menurut gw gak adil untuk siswa lain. Dan gw yakin, ilmu yang instan, akan hilang dengan cara yang instan pula. Sama seperti mencontek.

Gw lebih suka dengan ide : les dengan pengajar privat yang bukan guru sekolah yang mengajar kita di kelas, atau minta diajarkan orang tua atau kakak. Lebih fair.

Karena dengan begini, jatah ilmu yang didapet dari guru sekolah akan sama takarannya untuk semua siswa, tanpa ada yang pinter duluan. Pinter disini maksudnya adalah : tau jawaban dari soal yang akan diberikan.

Jadi inget gimana dulu waktu gw kuliah, debat kusir di kelas, hanya karena gw bermaksud membetulkan statement dosen gw yang salah mengenai akuntansi. Dosen gw satu ini emang kalo ngomong tinggi banget, dan gak mau nerima koreksi dari siswanya, karena dia ngerasa dosen dan dosen selalu benar, dan gw (dibantuin temen2 laen juga malah) tetep kekeuh kalo ni dosen keliru, dan akhirnya dia nantang gw buat bawa buku sumber alasan kenapa gw berani ngoreksi kesalahan dia. Besoknya, setelah gw bawa buku sumbernya, dia gak pernah ungkit2 lagi.

Pernah waktu anak didiknya dateng telat ke kelas, dia dengan lantang bilang gini :

“saya ini manager HRD, jadi harusnya kamu yang nunggu saya ! bukan saya nunggu kamu,”

Hello…..use your brain wisely Mister…. Lu itu manajer HRD di kantor sana, tapi di kampus, elu dosen dan kami mahasiswa. It means, kami gak masuk pun it’s not your fuckin’ problem. Just give us “E”. gak usah nyombongin diri yang malah bikin mahasiswanya jadi unrespect.

Oh ya, btw, Di akhir semester itu, nilai gw jadi C-. padahal, semester sebelumnya, nilai gw selalu A. but nevermind, not such an important.

Di kampus gw juga ada sistem practice English conversation dengan cara menghafal text dengan metode karangan bebas, dengan gaya story telling. Menurut gw, cara kayak gitu gak akan efektif, karena yang bakal terjadi adalah, mahasiswa hanya akan menghafal text hasil salinan dari temen yang paling jago, tanpa memahami isi yang dipresentasikan kepada dosennya. Dan setelah survey, mayoritas mengiyakan demikian.

Waktu itu, gw lebih suka milih : gak mengerjakan textnya, dan mengucapkan apa yang ada di pikiran gw. Imajinasi gw akan lebih berkembang dan latihan berdialog pun lebih mengena, apabila ada pertanyaan yang dilontarkan si pembimbing.

Jadi inget waktu SMA dulu, jaman plonco anak baru.setiap anak baru yang baru bergabung, diwajibkan meminta tanda tangan seniornya, minimum 50 tanda tangan. Dan lagi2, gw menolaknya. Kali ini dengan alasan, gak akan ada manfaatnya selain anak baru itu bakal terlihat bodoh di depan seniornya, mengemis minta tanda tangan, terlebih kalau seniornya jual mahal. Dan hal ini, diamini oleh sang ketua osis itu sendiri, setelah gw ngobrol singkat di waktu siang. Apa yang mereka kerjain gak akan berguna. Dan gw pun [sekali lagi] gak mengerjakannya.

Selain itu, makan2 makanan yang gak lazim pun diterapkan di jaman ploncoan SMA gw. Gw Cuma bisa bilang : “damn…who do you think you are….”. dan gw pun tetep makan makanan yang lazim tanpa harus takut hukumannya kalau ketauan. Alasan kebersamaan yang diterapkan disini buat gw cuma omong kosong, karena kebersamaan yang hakiki gak bisa dibentuk dalam hitungan hari. Dan kebersamaan gak perlu dibentuk dengan makan makanan yang aneh. Kebersamaan bisa dibangun dengan hal yang wajar.

Menjadi seseorang dengan berpikir kritis dan berjiwa pemberontak (selama jiwa tersebut diarahkan dalam hal yang positif), akan lebih mudah membawa perubahan di dalam kehidupan dimana terjadi banyak penyimpangan yang sudah mengakar, dan banyaknya ketidaktauan sosial. Dan menjadi seseorang yang berpikir kritis juga sudah pasti akan mendapat banyak penolakan dari mayoritas kaum skeptic, yang hidup dalam paradigma monoton, yang gak menyetujui adanya perbedaan. Mungkin alasan ini [hidup tanpa berfikir kritis] juga yang membuat orang mudah diputarbalikkan keyakinannya akan sesuatu.

Mulai sekarang, cobalah menjadi pribadi yang kritis. Dan gw kritis hanya pada hal2 yang gak penting aja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sepatah kata